PEMBANGUNAN yang dilakukan dengan
mengabaikan pertimbangan keselamatan lingkungan dan generasi
mendatang hanya akan menghasilkan pembangunan yang merusak.
Pembangunan yang dilakukan hanya untuk meraih pertumbuhan ekonomi
semata-mata akan lebih banyak menghasilkan keserakahan yang membawa
bencana daripada manfaat untuk umat manusia.
Ini merupakan kesalahan yang tidak
pernah diperhitungkan para pelaku ekonomi yang rakus. Padahal, jelas
bahwa peningkatan kesejahteraan dalam paradigma pertumbuhan ekonomi
akan melahirkan sesuatu yang pasti: kerusakan lingkungan.
Keberhasilan paradigma pertumbuhan
ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui
pengorbanan yang berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud soil
depletion, penyusutan nonrenewable resources maupun desertifikasi.
Ternyata upaya mewujudkan pembangunan ekonomi bukannya tanpa
pengorbanan yang membahayakan. Berbagai kasus terakhir menunjukkan
begitu sering masyarakat kecil di sekitar kawasan pegunungan (dataran
rendah) menjadi amukan badai banjir lumpur akibat resapan yang sudah
tidak lagi memadai.
Sikap Gereja
Atas dasar itu, perhatian terhadap
keselamatan lingkungan dan menanamkan sejak dini kesadaran lingkungan
sangat perlu dilakukan.
Hal itu yang dilakukan dalam sidang para
uskup dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan menegaskan
kembali komitmen Gereja Katolik untuk terlibat dan bertanggung jawab
dalam penyelamatan lingkungan hidup. KWI menyatakan keprihatinan atas
kerusakan lingkungan hidup yang makin parah dewasa ini.
Pesan pastoral tentang lingkungan
tersebut ditandatangani Ketua Presidium KWI yang baru Mgr Ignatius
Suharyo dan Mgr Johannes Pujasumarta (Sekretaris Jenderal). Pesan
pastoral KWI 2012 kali ini menyoroti masalah lingkungan sebagai
sebuah penegasan kembali peran Gereja Katolik dalam upaya
melestarikan lingkungan.
KWI melihat tata kelola keadaban
lingkungan merupakan persoalan besar bangsa ini. Setiap hari kita
menyaksikan hutan, bumi serta alam semesta dirusak dan dieksploitasi.
Hutan dan sumber daya alam lainnya di kawasan Kalimantan, Sumatera,
dan Papua menjadi saksi sebuah tata kelola lingkungan yang tidak
menyentuh harkat dan martabat manusia.
Gereja menyadari rusaknya keadaban
lingkungan ini sebagai sebuah cermin nilai kemanusiaan yang makin
merosot. Berbagai bencana alam terjadi karena seringnya kesalahan
cara pandang manusia terhadap alam. Dalam melihat dan memperlakukan
alam kita sering menggunakan cara pandang antroposentris. Pandangan
antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat dari alam, bahkan
dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa pun.
Sejauh ini Gereja sudah lama menaruh
keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada
manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No
12) sudah mengingatkan semua pihak bahwa masyarakat setempat harus
dilindungi dari kerakusan pendatang.
Begitu pula Paus Yohanes II dalam
Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No 34) yang menekankan alam
ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan
pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral. Dampak pengelolaan
yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan manusia saat ini, juga
generasi mendatang.
Selanjutnya Paus Benediktus XVI dalam
Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No 48) juga menyadarkan bahwa
alam adalah anugerah Allah untuk semua orang. Karenanya harus
dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia.
Dalam pesan pastoral tahun ini, kepada
kalangan pebisnis, KWI berpesan tidak hanya mengejar keuntungan
ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial. Manfaat sosial itu berupa
terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa
sumber daya alam akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan
datang.
Gereja berharap gerakan ekopastoral ini
menjadi bagian penting untuk memperbaiki sikap manusia terhadap alam.
Gereja Katolik Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah
lingkungan. Gereja melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi
dan negosiasi dalam mengatasi perusakan lingkungan yang masih
berlangsung.
Batas Keseimbangan Alam
Alam memiliki batas-batasnya sendiri.
Ketidakseimbangan alam yang ditandai dengan berbagai bencana di
berbagai tempat menjadi refleksi serius Gereja tahun ini. Gereja
menyadari kehancuran lingkungan hidup merupakan buah dari sistem
ekonomi yang dijalankan dalam semangat penuh keserakahan.
Tuhan menciptakan alam semesta untuk
diolah demi terciptanya kesejahteraan bersama. Alam perlu diolah dan
dimanfaatkan dalam batas-batas kewajarannya. Namun, kenyataannya
watak rakus penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan
keseimbangannya.
Mereka menghabiskan kekayaan alam hanya
untuk memperkaya dirinya sendiri. Dampaknya, manusia bukan hanya
mudah terkena bencana, melainkan juga karena mereka sedikit demi
sedikit mulai terasing dari alam semesta.
Kini manusia mulai kehilangan dayanya
untuk mengembalikan alam sesuai dengan keseimbangannya. Alam telah
dirusak oleh watak manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri
serta generasinya sendiri tanpa memikirkan yang akan datang.
Di negeri ini, begitu jelas batas
kewajaran alam sering dirusak pula melalui upaya sistematis kebijakan
publik yang hanya berpikir jangka pendek. Negara tak lagi memikirkan
untuk apa semua dilakukan kecuali hanya untuk kepentingan politik
jangka pendek.
Hutan Indonesia yang menjadi tumpuan dunia untuk bisa
bertahan lebih lama semakin hari semakin keropos. Kenyataan ini
didukung oleh lemahnya penegakan hukum atas setiap penyelewengan yang
terjadi.
Alam tidak lagi bersahabat dengan
manusia saat keseimbangannya diluluhlantakkan atas nama pertumbuhan
ekonomi.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi setiap saat,
tidak pernah menjadi pengingat yang baik, bahwa hal tersebut terjadi
karena satu-satunya alasan yang valid, yakni ketika alam tidak lagi
dihargai keseimbangannya. Saat alam diperas kekayaannya hanya untuk
kepentingan politik ekonomi kaum tertentu.
Saat ini kita sudah berkali-kali
merasakan akibat atas murkanya alam ini. Tapi, kita tidak pernah
memahami dengan sungguh-sungguh. Beberapa tahun yang akan datang,
dampak yang lebih hebat atas kemurkaan alam ini jelas akan datang
bila tidak ada langkah konkret, reflektif dan menyadari sepenuh hati
dalam bentuk kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar